Bertempat di Aula Media
Center, Kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, telah
diluncurkan sebuah buku baru terkait hak asasi manusia di tanah Papua,
dengan judul “Mati atau Hidup”, sub judul “Hilangnya Harapan Hidup dan
Hak Asasi Manusia di Papua”, karya Sekertaris Jenderal Asosiasi
Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTPI), Markus Haluk.
Menurut penulis, buku tersebut menggambarkan situasi hak asasi
manusia di Papua selama empat belakangan, bahwa tensi pelanggaran HAM
bukan semakin menurun, namun justru semakin meningkat secara drastis.
“Padahal, presiden SBY sendiri dalam banyak kesempatan telah
menyatakan akan menyelesaikan masalah Papua dengan jalan damai, dialog,
dan tidak melakukan pendekatan keamanan, namun kenyataan dilapangan
lain, pelanggaran HAM justru semakin meningkat,” ujar Haluk.
Dikatakan, tujuan penulisan buku tersebut juga untuk mengajak
simpati dari siapa saja yang selama ini peduli pada situasi konflik di
Papua, dan agar bisa membantu untuk mengatasi situasi konflik tersebut.
Selain itu, menurut penulis, judul buku tersebut sengaja mengajak
pembaca untuk merenungkan situasi Papua, sebab kondisi rakyat Papua
saat ini adalah dalam keadaan siap mati, dan akan mati, walau yang
berhak menentukan mati adalah Tuhan sendiri.
“Pemerintah Indonesia bangga jika menghilangkan nyawa orang Papua,
padahal nyawa ada di tangan Tuhan, ini situasi dan kondisi rill yang
terjadi di Papua,” ujar penulis, yang juga alumnus Sekolah Tinggi Fajar
Timur, Abepura, Papua.
Sementara itu, Haris Azhar, Kordinator KontraS mengapreasiasi usaha
dan kerja penulis untuk menggambarkan situasi Papua melalui sebuah
karya tulisan.
“Ini langkah baik, dan perlu diikuti oleh siapa saja yang peduli
pada persoalan di Papua,” tegas Hariz, yang juga jadi moderator dalam
sesi peluncuran buku, Rabu (3/4/2013) siang tadi.
Sedangkan menurut Komisioner Komnas HAM RI, Otto Syamsuddi Ishak,
kekurangan yang ia temui dalam penulisan buku tersebut adalah tidak
ditemuinya bagian yang memaparkan tentang kesalahan pemerintah daerah,
sebab mereka bagian dari subjek pelaku pelanggaran HAM di Papua.
“Kalau dibidang Sosial dan Politik, saya setuju negara sebagai
aktor, tapi perlu ingat bahwa di Ekonomi, Sosial dan Budaya, pemerintah
daerah justru pelaku utama pelanggaran HAM, dan saya tidak lihat buku
ini membahas kesalahan pemerintah,” ujar Otto.
Karena itu, Otto meminta, dalam penulis buku, perlu kesalahan
pemerintah daerah juga perlu diungkap, agar dapat lebih fair, tidak
hanya menyerang pemerintah pusat semata.
Selain menggelar acara peluncuran buku dengan menghadirkan
pembicara, Yoris Raweyai, anggota Komisi 1 DPR RI, Adriana Elisabeth
dari Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI), dan Otto Syamsuddin
Ishak, Komisioner Komnas HAM, sebelumnya telah dilakukan jumpa pers
terkait penulisan buku tersebut.
Dalam jumpa pers, tampak hadir juga Ketua Persekutuan Gereja-Gereja
Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yomna, Yosepha Alomang,
Direktur Eksekutif Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK),
Sinung aktivis dari KontraS, serta beberapa mahasiswa Papua di Jakarta.